Senin, 18 Mei 2015

Everything is Fair in Love and War

Semuanya (tampak) adil dalam cinta dan peperangan.


Ketika seseorang ingin menguasai dunia, hanya ada dua buah cara, lewat cinta atau lewat perang. Umumnya laki-laki menyukai cara perang dibanding cinta atau biasanya menyatakan perang untuk memperjuangkan cinta. Tapi wanita, selalu punya cara yang lebih baik untuk menguasai dunia.

Ini sebabnya bahwa hidup terasa tidak adil bahwa sampai kapanpun wanita akan selalu lebih dewasa daripada laki-laki. Mungkin ini kenyataan. Mungkin ini takdir. Mungkin.

Sejujurnya, gua gak pernah paham sama isi dan jalan pikirannya cewek. Bahkan gua yakin, sebenarnya cewek pun gak pernah paham sama isi dan jalan pikirannya sendiri.
Pernah ada seorang cewek cantik dan jomblo pernah nanya sama gua, “lo itu baik dan perhatian, tapi kenapa masih jomblo?” Saat itu gua pengen bales bilang gini, “Emangnya kalo gua ini jahat dan cuek, trus punya istri lebih dari satu, lo mau sama gua?”

Tapi gua gak berani bilang gitu, lebih tepatnya gak bisa. Takutnya nanti dibilang ngarep atau apalah. Yang jelas gua jadi sering berasumsi untuk urusan memahami cewek. Sampai pada akhirnya gua menemukan satu kutipan yang pengen gua jadiin tattoo di lengan, bunyinya begini, “if you don’t ask or do it now, the answer is always assumption”. Dari kutipan tadi gua berusaha untuk menjalani hidup ini dengan mudah dan sederhana, karena gua tau bahwa hidup ini sulit dan rumit.

Menurut gua pribadi, cewek terlalu ribet sama perasaannya sendiri, sedangkan cowok enggak. Karena kenapa? Karena (kebanyakan) cowok itu berpikir dan bertindak berdasarkan logikanya. Kalo logika sudah berjalan, mau seribet apapun, pasti selalu ada cara untuk menguraikan ribetnya logika. Beda dengan perasaan, terkadang perasaan bukan dari otak namun dari hati. Hati lebih kompleks daripada otak. Hati gak mempunyai bentuk. Terkadang gua merasa bahwa hati adalah anak dari otak. Dulu hati dan otak selalu berdampingan, kini hati memilih jalannya yang lain. #tsaelah

Karena cewek terlalu ribet sama perasaannya sendiri, sehingga timbul sikap untuk menjaga perasaan orang lain. Untuk masalah menjaga perasaan ini juga bukan hanya ada di kaum cewek, bahkan mungkin untuk banyak orang. Kenapa sih masih banyak orang yang harus “menjaga perasaan” orang lain? Terkadang, bagi gua “menjaga perasaan” orang lain itu seperti jebakan bom waktu. Akan ada saatnya karena terlalu menjaga perasaan orang lain sehingga menjadi mengorbankan perasaan diri sendiri.

Kalo gak merasa salah yaa jangan marah kalo dikasih tau atau dikatain atau disindir. Ini cuma masalah apakah lo secara pribadi emang udah siap buat menghadapi masalah atau lo terlalu sensi. Kebanyakan orang kalo berhadapan dengan masalah tuh langsung merasa sakit hati. Emang sih yaa kalo lagi sakit hati, menjalani hari menjadi terasa lebih panjang dari biasanya. Tetap sih 24 jam dalam sehari, tapi satu menit itu sama dengan 3600 detik. Gitu.

Kalo lagi sakit hati, bawaannya pengen lari-lari dibawah hujan biar gak ketauan kalo lagi nangis. Gitu.

Di zaman serba instan dan cepat kayak sekarang, kenapa sih kalo urusan menyatakan perasaan harus muter-muter dulu gak langsung ke intinya? Ironis. Seharusnya urusan perasaan itu dibuat menjadi lebih simpel, tinggal tanya lalu take it or leave it. Gitu.

Banyak orang yang takut bertanya, hanya karena dikira bodoh. Menurut gua, itu kembali ke tujuan awal bertanya. Apakah tujuannya ingin mencari tau? Ingin pamer? Atau ingin berbagi pandangan? Macem-macem tujuannya. Tinggal bagaimana kita mengidentifikasi maksud dan gelagat dari orang yang bertanya. Orang bijak pernah bilang gini, “Bertanya mungkin bikin keliatan goblok semenit, tapi kalo gak nanya sama sekali akan bikin lo goblok seumur hidup”.

Terkadang, hal yang bikin orang takut bertanya adalah karena gak siap dan gak terima dengan jawaban yang muncul. Itu cuma masalah kepribadian orangnya sendiri. Masalah jawabannya nyakitin atau engga, bisa disikapi dengan bijaksana. #sotoyajaterusbang

13 Mei lalu. Sempet terulang lagi kedua kalinya. Hanya butuh 3 hari untuk memperbaiki hati. 
Gara-gara itu dampaknya jadi buruk. Bukan cuma dari dalam, tapi sampai ke urusan luar yang seharusnya gak perlu ikut-ikutan. Dari urusan kuliah, teman, sampai orang tua.
Paling sulit adalah menghilangkan kebiasaan yang sudah diciptakan. Mungkin ini hanya perlu pelan-pelan, ketika sudah siap waktunya hanya perlu berlari hingga tujuan.
Bukan berarti menutup tali silaturahmi, mungkin dia yang perlu nyali untuk berani menyapa “Hai” lebih dulu. Lalu obrolan berjalan hingga jenuh mengusir waktu.


Btw, tulisan ini terlalu random untuk dibaca dan dimengerti. Maklumlah, lagi (terasa) sakit hati.
Fuck. Jadi kacau, kan. Cowok kok lemah begini. Hih.


PS untuk penulis: Lain kali kalo nulis jangan pake hati, bang. Nulis tuh pake tangan dan perasaan.



1 komentar: